Thursday, August 1, 2019

INFO TERBARU

KABAR GEMBIRA,

Alhamdulillah website resmi Salafy Pangkep telah hadir dengan alamat www.salafypangkep.com

Barokallahu fiikum

Tuesday, July 16, 2019

Hakikat Khulu’ Sabagai Fasakh



HAKIKAT KHULU' SEBAGAI FASAKH

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullah

DEFINISI KHULU’

Secara etimologi (tinjauan bahasa), khulu’ berasal dari kata خَلَعَ الثَّوْبَ (melepas pakaian), karena istri adalah pakaian bagi suaminya secara maknawi.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman: “Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah: 187)

Khulu’ diistilahkan pula dengan fida’, iftida’, dan fidyah, yang artinya tebusan, karena istri yang melakukan khulu’ menebus dirinya dengan bayaran kepada suami.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman: “Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)

Adapun definisi khulu’ secara terminologi (menurut istilah) adalah perpisahan dengan istri yang ditebus dengan bayaran dari istri atau dari selainnya.

Jadi, khulu’ berkonsekuensi dua perkara: bayaran (tebusan) dan perpisahan.

1. Bayaran (tebusan)

Yang berkewajiban membayar tebusan tersebut adalah istri. Namun, sah dibayarkan oleh walinya. Bahkan, sah dibayarkan oleh orang lain, menurut pendapat yang benar. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah, as-Sa’di, dan Ibnu ‘Utsaimin.

Ibnu Taimiyah berkata—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa dan al-Ikhtiyarat—, “Khulu’ boleh dilakukan seorang wanita dari pihak/orang lain, menurut empat imam mazhab dan jumhur. Jadi, boleh bagi orang lain menebus si istri dari suaminya, sebagaimana bolehnya menebus tawanan dan menebus budak dari tuannya untuk dimerdekakan. Oleh karena itu, dipersyaratkan bertujuan untuk membebaskannya dari tangan suaminya demi maslahat wanita tersebut.”

Contohnya, seorang istri butuh melakukan khulu’ karena tidak mencintai suaminya, tetapi tidak punya harta untuk menebus dirinya. Jika ada orang lain yang membayarkan tebusannya, berarti ia telah berbuat baik demi maslahat wanita itu. Jadi, siapa pun yang dianggap sah mengeluarkan hartanya tanpa imbalan, sah baginya mengeluarkan hartanya untuk pembayaran tebusan khulu’.

2. Perpisahan

Pisah khulu’ hanya terjadi jika dijatuhkan oleh suami atau selainnya yang berwenang menjatuhkannya[2] atas permintaan istri dengan mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya. Tanpa dijatuhkan dengan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya, khulu’ tidak jatuh menurut pendapat yang rajih—sebagaimana akan diterangkan nanti.

Adapun perpisahan yang diinginkan sendiri oleh suami dan dijatuhkannya tanpa bayaran (tebusan), diistilahkan sebagai pisah talak.

Masalah: Khulu’ tidak jatuh tanpa dijatuhkan oleh suami

Khulu’ hanya jatuh jika suami menjatuhkannya dengan mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya. Tanpa dijatuhkan dengan lafadz, maka khulu’ tidak jatuh. Inilah pendapat yang rajih.

Ibnu Qudamah Rahimahullah menegaskannya berdasarkan alasan berikut.

1. Khulu’ adalah tindakan terkait dengan kepentingan biologis, sehingga tidak sah tanpa dilafadzkan oleh suami, seperti halnya pernikahan dan talak.

2. Mengambil harta yang diberikan istri adalah semata menggenggam tebusan. Ini tidak berkedudukan mewakili penjatuhan khulu’.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu tentang kasus permintaan khulu’ istri Tsabit bin Qais bin Syammas yang diriwayatkan oleh al-Bukhari pada kitab Shahih-nya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata kepada Tsabit:

وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

“Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintah Tsabit memisahnya, maka dia pun memisahnya.”

Pada riwayat al-Bukhari lainnya dengan lafadz:

اقْبَلِ الْحَدِيْقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً.

“Terimalah kebun itu dan talaklah dia.”[3]

Riwayat-riwayat ini jelas menunjukkan bahwa lafadz suami menjatuhkan khulu’ adalah syarat jatuhnya khulu’.

Oleh karena itu, as-Sa’di berfatwa dalam al-Fatawa as-Sa’diyyah bahwa khulu’ belum jatuh dan perpisahan belum terjadi dengan sebatas perbincangan untuk khulu’ dan kesepakatan bahwa suaminya akan menjatuhkan khulu’ jika istrinya membayar tebusan senilai harga yang disepakati. Dalam hal ini, boleh baginya menarik kembali niatnya untuk menjatuhkan khulu’.

LAFADZ KHULU’

Ibnu Taimiyah—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa— menjelaskan, “Khulu’ dan talak sah dengan selain bahasa Arab, menurut kesepakatan imam-imam umat ini.”

Khulu’ adalah fasakh (pembatalan akad) dan ‘iddahnya satu kali haid

Yang benar, khulu’ dengan lafadz apa saja adalah fasakh (pembatalan akad), baik dengan lafadz-lafadz yang khas untuk khulu’ seperti; khulu’, fida’, iftida’, fasakh[4], maupun dengan lafadz lainnya.[5] Hal ini tidak dihitung sebagai talak sama sekali.

Dalilnya adalah sebagai berikut.

1. Firman Allah Subhanahu wata'ala:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)

Pada ayat ini, setelah menyebutkan bahwa talak raj’i (yang dapat dirujuk) hanya dua kali, Allah Subhanahu wata'ala menyebutkan hukum iftida’ (khulu’) sebagai hukum tersendiri selain talak, karena Allah Subhanahu wata'ala berfirman selanjutnya:

“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (al-Baqarah: 230)

Allah Subhanahu wata'ala menerangkan bahwa jika si suami menalaknya lagi setelah dua talak sebelumnya (yang disebutkan di awal ayat), ini dianggap talak tiga. Artinya, fida’ (khulu’) tersebut tidak diperhitungkan sebagai bagian dari talak sama sekali. Sebab, seandainya dianggap sebagai bagian dari talak, tentu hal ini terhitung sebagai talak keempat, sedangkan seorang istri terpisah dari suaminya sama sekali—yang disebut bainunah kubra’ (perpisahan besar)—hanya dengan talak tiga.

Tampak jelas dari ayat ini bahwa khulu’ bukan talak, melainkan fasakh. Allah Subhanahu wata'ala menetapkannya sebagai fasakh (pembatalan akad) secara umum, baik dengan lafadz-lafadz khulu’ yang khusus maupun dengan lafadz lainnya.

2. Hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz Radhiyallahu 'anha:

Ia berkata:

اخْتَلَعْتُ مِنْ زَوْجِي، ثُمَّ جِئْتُ عُثْمَانَ فَسَأَلْتُ مَاذَا عَلَيَّ مِنْ الْعِدَّةِ؟ فَقَالَ: لاَ عِدَّةَ عَلَيْكِ إِلاَّ أَنْ تَكُونِي حَدِيثَةَ عَهْدٍ بِهِ فَتَمْكُثِي حَتَّى تَحِيضِي حَيْضَةً. قَالَ: وَأَنَا مُتَّبِعٌ فِي ذَلِكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي مَرْيَمَ الْمَغَالِيَّةِ كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَاخْتَلَعَتْ مِنْهُ.

“Aku khulu’ dari suamiku, lalu aku mendatangi Utsman lantas bertanya akan kewajiban ‘iddah yang harus aku jalani. Utsman menjawab, ‘Tidak ada kewajiban ‘iddah atasmu, kecuali jika kamu baru saja berpisah dengannya, maka hendaklah kamu menanti hingga haid satu kali.’
Utsman berkata, ‘Dalam hal ini, saya mengikuti hukum Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terhadap Maryam al-Maghaliyah, yang sebelumnya sebagai istri Tsabit bin Qais bin Syammas lalu khulu’ darinya’.” (HR. an-Nasa’i dan Ibnu Majah, dihasankan oleh al-Albani dan al-Wadi’i)[6]

Hadits ini begitu jelas menunjukkan bahwa khulu’ itu adalah fasakh walaupun dijatuhkan dengan lafadz talak, sebab ‘iddah dengan satu kali haid adalah urusan fasakh, bukan urusan talak.

Adapun perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Tsabit bin Qais bin Syammas untuk mencerai istrinya yang meminta khulu’ dengan lafadz:

اقْبَلِ الْحَدِيْقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً.

“Terimalah kebun itu dan talaklah dia.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu)

tidak menunjukkan bahwa khulu’ dengan lafadz talak adalah talak.

Ibnu Taimiyah—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa—berkata, “Adapun hadits ‘Talaklah dia’ maksudnya izin dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Tsabit untuk menalaknya satu kali talak dengan bayaran (tebusan) dan larangan lebih dari satu kali.”[7]

Artinya, tidak boleh menjatuhkan khulu’ lebih dari satu kali sekaligus dalam satu majelis seperti halnya larangan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menalak tanpa bayaran (tebusan) lebih dari satu kali sekaligus dalam satu majelis.

Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan agar tidak menjatuhkan talak dengan tebusan lebih dari satu kali (sekaligus), tetapi hanya satu kali saja. Sebagaimana halnya menalak hanya satu kali, tidak lebih dari itu (sekaligus). Namun, talak dengan tebusan adalah talak yang terikat, bermakna fidyah (khulu’) dan perpisahan ba’in (utuh tanpa dapat dirujuk), bukan talak mutlak yang terdapat dalam Al-Qur’an yang bermakna raj’i (dapat di ruju’).”

Ini jika hadits tersebut sahih sebagaimana telah disahihkan oleh al-Bukhari dan al-Albani.[8]

Yang benar, ‘iddahnya adalah satu kali haid. Ini adalah istibra’, yaitu pembebasan rahim dari anak yang dikandung. Dalilnya adalah hadits ar-Rubayyi’ x di atas. Hal ini karena tujuannya semata untuk mengetahui terbebasnya rahim dari kehamilan yang tercapai dengan satu kali haid saja. Tidak perlu diperpanjang untuk memberi kesempatan yang cukup agar bisa ruju’ (kembali), karena tidak ada kesempatan rujuk pada khulu’.

Berbeda halnya dengan ‘iddah istri yang ditalak sampai tiga kali haid, karena bertujuan memberi kesempatan yang cukup lama bagi suami agar bisa rujuk jika mau.
Inilah pendapat Ibnu ‘Abbas dan murid-muridnya, salah satu riwayat dari Ahmad, serta yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, as-Sa’di, al-‘Utsaimin, dan al-Wadi’i, guru besar kami.[9]

Konsekuensi hukum dari khulu’ sebagai fasakh

Terdapat beberapa hukum sebagai konsekuensi khulu’ (fasakh).

1. Jika seorang suami telah menjatuhkan khulu’ atas istrinya dengan tebusan yang disepakati dan tebusannya telah dibayarkan, terjadilah perpisahan antara keduanya dan putuslah hubungan keduanya yang diistilahkan bainunah shughra’ (perpisahan kecil).[10]

Artinya, dia tidak punya hak rujuk (kembali) dan tidak halal baginya untuk rujuk, sebab bayaran yang diberikannya kepada suaminya adalah penebusan diri. Dengan itu, dia telah menebus dirinya sehingga terlepas dari genggaman kuasa suaminya. Namun, dia bisa menikahinya kembali dengan akad yang baru, baik dalam masa ‘iddah maupun setelahnya. Ini adalah mazhab empat imam mazhab bersama jumhur ulama, yang dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah, asy-Syaukani, as-Sa’di, dan al-‘Utsaimin. Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad berkata, “Amalan kaum muslimin berjalan di atas hukum ini.”[11]

Inilah yang benar, insya Allah.

Begitu pula halnya jika khulu’ telah dijatuhkan oleh suami dengan tebusan yang disepakati dan tinggal penyerahan tebusan saja, fasakh telah jatuh dan sudah tidak boleh rujuk (kembali). Ini ditegaskan oleh as-Sa’di dalam al-Fatawa as-Sa’diyah.

2. Khulu’ tidak dihitung sebagai salah satu dari tiga talak yang ditetapkan dalam syariat.[12]

Artinya, tidak mengurangi kesempatan menalak yang diizinkan sampai tiga kali. Dengan demikian, jika suami sudah menalaknya dua kali lalu dia mencerainya dengan khulu’, perpisahan yang terjadi hanya bainunah shugra’ dan dia bisa menikahinya kembali secara langsung (tanpa syarat telah digauli suami yang lain). Sebab, ini bukan talak tiga melainkan fasakh. Dalam hal ini, kesempatan untuk menalaknya tetap tersisa satu kali, karena dua talak sebelumnya tetap terhitung meskipun telah diselingi akad pernikahan baru akibat khulu’ (fasakh) tersebut. Ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat di atas.

Khulu’ berulang kali tidak menjadikan istri haram atasnya untuk dinikahi kembali secara langsung. Walaupun telah dikhulu’ sampai sepuluh kali—atau lebih dari itu tanpa batas—, tetap boleh baginya menikahinya kembali dengan akad baru, tanpa syarat telah dinikahi dan digauli suami lain.
Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy-Syariah Online

Catatan Kaki:


  1. Fasakh adalah pembatalan akad nikah, bukan cerai. (-ed)
  2. Yang berwenang menjatuhkannya adalah suami atau pihak lainnya yang berhak menjatuhkan talak. Lihat uraian pihak-pihak yang berwenang menjatuhkan talak pada “Yang Berwenang Menjatuhkan Talak dan Lafadz-Lafadznya”.
  3. Akan kami terangkan perselisihan ahli hadits tentang kebenaran riwayat ini.
  4. Yaitu dengan mengatakan, “Saya mengkhulu’ kamu dengan tebusan itu”, “Saya melepasmu dengan tebusan itu”, atau “Saya memfasakh (membatalkan) akad nikah kita dengan tebusan tersebut”.
  5. Yaitu dengan mengatakan, “Saya menalakmu dengan tebusan tersebut”, “Saya menceraimu dengan tebusan tersebut”, “Saya memisahkanmu dengan bayaran tersebut”, atau semisalnya.
  6. Pada sanadnya terdapat Muhammad bin Ishaq, seorang mudallis, tetapi ia telah mempertegas bahwa dirinya mendengar hadits ini dari syaikhnya. Lihat kitab Shahih Sunan an-Nasa’i (Kitab “ath-Thalaq Bab ‘iddah al-Mukhtali’ah” no. 3498) dan al-Jami’ ash-Shahih (Kitab “an-Nikah wath-Thalaq Bab ‘iddah al-Mukhtali’ah” 3/97).
  7. Lihat Majmu’ al-Fatawa (32/310).
  8. Al-Albani mensahihkannya dalam al-Irwa’ (no. 2036). Sementara itu, sebagian ahli hadits menganggap cacat riwayat ini dengan irsal. Artinya, yang benar pada riwayat ini adalah jalan riwayat yang mursal (tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) tanpa penyebutan Ibnu ‘Abbas. Yang benar pada periwayatan hadits Ibnu ‘Abbas adalah tanpa riwayat talak. Di antara ahli hadits yang membenarkan hal ini adalah asy-Syaukani dalam Nailul Authar (pada “Kitab al-Khul’i”) dan guru besar kami, Muqbil al-Wadi’i, dalam Ijabah as-Sa’il (hlm. 699). Lihat pula Fathul Bari karya Ibnu Hajar (pada Kitab “ath-Thalaq Bab al-Khul’i”).
  9. Pendapat kedua yang memiliki sisi kekuatan yang patut diperhitungkan adalah yang merinci:
  • Jika dengan lafadz-lafadznya yang khas, jatuh sebagai fasakh meskipun diniatkan talak.
  • Jika dengan lafadz talak (yang jelas) atau dengan lafadz kiasan disertai niat talak, jatuh sebagai talak ba’in yang dianggap sah dalam perhitungan talak, berdasarkan riwayat, “Dan talaklah dia.”
  • Ibnu Taimiyah berkata, “Lafadz khulu’, fida’, dan fasakh dengan bayaran (tebusan) adalah lafadz-lafadz yang jelas sebagai fasakh, sehingga tidak bisa digunakan sebagai lafadz kiasan untuk talak.”
  • Berdasarkan ini, tampaklah kelemahan pendapat lainnya yang sama dengan pendapat kedua ini, tetapi mengatakan jatuh sebagai talak jika menggunakan lafadz-lafadz khas tersebut yang diniatkan talak.
11. Ini pula hukumnya menurut pendapat lainnya (yang merinci) jika jatuh sebagai talak karena dijatuhkan dengan lafadz talak (yang jelas) atau kiasan disertai niat talak.
12. Bersama dengan ini, secara tinjauan makna, Ibnul Qayyim mendukung pendapat yang membolehkan rujuk dalam masa ‘iddah, sebagaimana pendapat Sa’id bin al-Musayyib dan az-Zuhri, yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam kitab al-Mushannaf.
13. Adapun menurut pendapat yang merinci; jika dijatuhkan dengan lafadz talak (yang jelas) atau lafadz kiasan disertai niat talak, berarti jatuh sebagai talak tiga pada contoh tersebut dan perpisahan yang terjadi adalah bainunah kubra’. Dia tidak bisa lagi menikahinya kembali melainkan jika telah dinikahi dan digauli oleh suami lain. Lihat kitab Majmu’ al-Fatawa (32/289).

Ajari Anak Anda Fikih JIHAD Sebelum Tersesat Jalannya


AJARI ANAK ANDA FIKIH JIHAD SEBELUM TERSESAT JALANNYA
Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: 
  1. Pengaturan jihad dan pengawasannya adalah wewenang Penguasa kaum muslimin.
  2. Jihad itu tidak dengan membunuhi kaum muslimin dan kafir musta’man (yang dijamin keamanannya). Akan tetapi jihad itu adalah dengan memerangi orang-orang kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin)
  3. Tidak boleh membunuh orang kafir musta’man (orang kafir yang minta jaminan keamanan), kafir mu’ahad (orang kafir yang ada perjanjian damai dengan negeri muslimin), dan kafir dzimmi (orang kafir yang tunduk dengan penguasa negeri muslimin), dengan dalih kalau orang kafir sekarang membunuhi kaum muslimin.
  4. Bom bunuh diri bukanlah amalan mencari syahid, karena bom bunuh diri itu menyengaja membunuh dirinya, dan barang siapa yang membunuh dirinya maka dia diancam api neraka.

(Dari kitab Al-Aan hash hashal haq hal 74-75)

Sumber: Furum Salafy Online

——————————
::: علّم ابنك فِقهَ الجهاد قبْلَ أن يضلّ الطريق :::
❍ قَالَ العلّامة صـالحُ الـفَوزَان -حَـفظهُ الله-:
1⃣ أولا :
تنظيم الجهاد والإشراف عليه من صلاحيات إمام المسلمين.
2⃣ ثانيا :
الجهاد لا يكون بقتل المسلمين والمستأمنين، وإنما مع الكفار المحاربين.
3⃣ ثالثا :
لا يجوز قتل الكافر المستأمن والمعاهد والذمي بحجة أن الكفار الآن يقتلون المسلمين.
4⃣ رابعا :
الانتحار ليس استشهادا، لأن المنتحر يتعمد قتل نفسه، ومن قتل نفسه فهو متوعد بالنار.
ــــــــ
? من كتاب :
[الآن حصحص الحق (٧٤-٧٥)]
ــــــ ✵✵ ــــــ ✵✵ــــــ
@alssilf_alssalih
[ http://cutt.us/eCGAW ]

Sunday, July 14, 2019

Sisa Mani Keluar dari Farji, Membatalkan Wudhu?



[TANYA JAWAB] SISA MANI KELUAR DARI FARJI, MEMBATALKAN WUDHU?
Bagaimana hukumnya bila seorang istri saat shalat mengeluarkan sisa mani dari farjinya? Dikarenakan sebelumnya dia berjima’ dengan suaminya. Apakah dia harus membatalkan shalatnya. Dan apakah itu membatalkan wudhu?
and…@hotmail.com

Dijawab Oleh: al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah. Perlu diketahui bahwa mani yang keluar dari dzakar (penis) lelaki dan farji (vagina) wanita dalam keadaan terjaga (bukan mimpi) bentuknya ada dua.
Pertama, yang keluar (karena syahwat, red.) dengan memancar, disertai rasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemahnya badan). Inilah yang dinamakan inzal, seperti yang terjadi saat mencapai puncak hubungan suami istri (orgasme).
Kedua, keluar tanpa disertai sifat-sifat di atas (atau tanpa syahwat, red.).
Menurut pendapat yang rajih (kuat), yang menimbulkan hadats akbar (besar)—disebut janabah—dan mewajibkan mandi adalah bentuk yang pertama. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُو

“Jika kalian junub, maka hendaknya kalian bersuci dengan mandi.” (al-Maidah: 6)
Hal ini dikuatkan dengan hadits ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya:
إِذَا حَذَفْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفاً فَلاَ تَغْتَسِلْ
“Jika kamu memancarkan mani, maka hendaknya kamu mandi karena janabah. Dan jika keluar tanpa memancar maka jangan mandi.” (Hadits ini disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 125)
Adapun mani yang keluar dengan bentuk yang kedua hanya menimbulkan hadats ashghar (kecil) dan membatalkan wudhu. Ini adalah mazhab jumhur, seperti Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah. Adapun pendapat asy-Syafi’i rahimahullah bahwa kedua bentuk ini mewajibkan mandi menurut kami adalah pendapat yang marjuh (lemah). (Lihat Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 2/158, karya an-Nawawi, Majmu’ Fatawa, 21/296 dan asy-Syarhul Mumti’, 1/278—279)
Jadi apa yang dialami oleh wanita sebagaimana pertanyaan di atas, merupakan hadats kecil yang membatalkan wudhu dan shalat, meskipun yang keluar tersebut mani suaminya yang tertampung ketika jima’ (berhubungan dengan suaminya). Ini sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Zaid radhiallahu ‘anhu, az-Zuhri, Qatadah, al-Auza’i, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah, serta dipilih oleh kalangan asy-Syafi’iyyah (para pengikut mazhab al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah).
Adapun pendapat Ibnu Hazm rahimahullah yang mengatakan bahwa mani suami yang keluar dari farji istrinya bukan hadats, merupakan pendapat yang lemah. Karena mani tersebut keluar melalui farjinya ditambah lagi bahwa tentunya mani tersebut tidak lepas dari percampuran dengan ruthubah (cairan farji wanita) itu sendiri. Bahkan apabila sang istri pun mengalami inzal ketika jima’ maka berarti kedua mani tersebut telah bercampur dan keluar bersama-sama. Hal ini dikatakan oleh sebagian ulama asy-Syafi’iyyah. (Lihat Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 2/172, karya an-Nawawi rahimahullahJami’ Ahkamin Nisa, 1/77—78)
Wallahu a’lam.

Tuesday, June 18, 2019

Apa hukum arisan?


[TANYA JAWAB] - APA HUKUM ARISAN?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Arisan dikenal oleh sebagian orang Arab dengan istilah jam’iyyah (kumpulan peserta arisan). Ini termasuk masalah kontemporer yang tengah marak ditekuni oleh banyak kaum muslimin mengingat manfaat yang mereka rasakan darinya. Masalah ini diperselisihkan oleh ulama ahli fatwa masa kini.
1. Ada yang berpendapat haram. Al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah berfatwa, “Ini dinamakan pengutangan di antara sekumpulan orang (arisan) dan perkara ini kehalalannya diragukan. Sebab, arisan adalah piutang dengan syarat adanya timbal balik dengan diutangi pula dan termasuk piutang yang menarik manfaat. Karena dua alasan tersebut, arisan haram.
Di antara ulama ada yang berfatwa boleh dengan alasan manfaat yang ditarik karena pengutangan itu tidak khusus pada salah satu pihak (pemiutang) melainkan pada kedua belah pihak. Menurut saya, yang rajih (terkuat) adalah pendapat pertama (yang mengharamkan). Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.
“Setiap piutang yang menarik suatu manfaat, hal itu adalah riba.”[1] (Lihat kitab Asna al-Mathalib hlm. 240, al- Ghammaz ‘ala al-Lammaz hlm. 173, dan Tamyiz al-Khabits min ath-Thayyib hlm. 124)
Seluruh ulama telah sepakat atas makna yang terkandung pada hadits ini, sementara itu arisan termasuk dalam makna ini. Selain itu, arisan termasuk pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua akad dalam satu akad. Wallahu a’lam.”[2]
2. Ada yang berpendapat boleh. Ini adalah fatwa Ibnu Baz—bersama Haiat Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi) yang dipimpinnya—dan Ibnu ‘Utsaimin. Berikut kutipan fatwa mereka.
Al-Imam Ibnu Baz  rahimahumullah ditanya mengenai hukum arisan. Gambarannya, sekelompok pengajar mengumpulkan sejumlah uang di akhir bulan dari gaji mereka, lalu mereka memberikannya kepada salah seorang dari mereka, lalu diberikan kepada orang berikutnya di akhir bulan berikutnya, demikian seterusnya sampai seluruh peserta mengambil uang yang telah dikumpulkannya selama ini. Beliau rahimahullah menjawab, “Hal itu tidak mengapa. Arisan adalah piutang yang tidak mengandung syarat memberi tambahan manfaat kepada siapa pun. Majelis Haiat Kibar al-‘Ulama telah mempelajari masalah ini dan mayoritas  mereka membolehkannya mengingat adanya maslahat untuk seluruh peserta arisan tanpa mengandung mudarat. Hanya Allah subhanahu wata'ala yang memberi taufik.”
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam syarah Bulughul Maram, “Terjadi masalah di kalangan para pegawai yang gajinya dipotong setiap bulan (untuk dikumpulkan) senilai tertentu menurut kesepakatan mereka. Uang itu lantas diberikan kepada salah seorang dari mereka di bulan pertama, lalu kepada orang kedua di bulan kedua, dan seterusnya hingga uang itu bergilir kepada seluruh peserta (arisan). Apakah masalah ini tergolong piutang yang menarik manfaat/riba?
Jawabannya, tidak. Hal itu bukan piutang yang menarik manfaat/ riba, karena tidak ada peserta yang mendapatkan uang lebih dari jumlah yang telah diberikannya. Ada yang berkata, ‘Bukankah disyaratkan piutang itu dibayar sepenuhnya kepadanya, yang berarti syarat pada piutang (yang menarik manfaat/riba)?’
Kami jawab bahwa hal itu bukan syarat adanya akad lain, tetapi sematamata syarat agar utang itu dilunasi. Artinya, peserta memberikannya kepada peserta lainnya dengan syarat ia mengembalikannya kepadanya senilai itu juga, tidak lebih dari itu.
Berdasarkan keterangan ini, pendapat bahwa arisan termasuk piutang yang menarik manfaat/riba adalah anggapan yang keliru. Sebab, arisan adalah piutang yang tidak mengandung penarikan manfaat/riba sama sekali. Seandainya peserta memiutangi uang senilai seribu dengan syarat dikembalikan dua ribu, tentu saja hal itu tidak boleh, karena tergolong piutang yang menarik manfaat/riba.”
Alhasil, yang benar menurut kami adalah pendapat yang membolehkan. Adapun kedua alasan yang dikemukakan oleh al-‘Allamah al-Fauzan sebagai dasar untuk menghukumi haramnya arisan telah terbantah pada kedua fatwa ini. Arisan bukan piutang yang menarik manfaat/riba, karena setiap peserta arisan tidak mengambil uang lebih dari uangnya sendiri yang dikumpulkannya selama berjalannya arisan.
Arisan bukan pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya. Sebab, setiap peserta yang mendapat undian (giliran) untuk mendapatkan sejumlah uang arisan yang terkumpul berarti dia diutangi oleh peserta arisan berikutnya (yang belum dapat giliran).
Adapun peserta yang telah dapat giliran, setorannya untuk membayar utangnya kepada pesertapeserta yang belum dapat giliran. Demikianlah seterusnya hingga berakhir.
Jadi, tidak ada sama sekali persyaratan akad lain yang membonceng padanya untuk memetik riba.
Wallahu a’lam.
Namun, pada perkembangannya ada model-model arisan yang diboncengi dengan lelang motor atau semacamnya yang perlu diwaspadai. Sebab, boleh jadi itu tergolong pengutangan yang menarik manfaat/riba sehingga haram. Hal itu apabila peserta arisan yang mendapat giliran di putaran-putaran berikutnya atau putaran terakhir diuntungkan oleh peserta-peserta sebelumnya dengan mendapat kelebihan dari nilai uang yang dikumpulkannya selama arisanberlangsung. Wallahul musta’an.

Bagaimana Hukum Memakai Quffaz (Kaos Tangan)?


[TANYA JAWAB] - BAGAIMANA HUKUM MEMAKAI QUFFAZ BAGI MUSLIMAH?
Soal :
Bagaimana hukum memakai quffaz (kaos tangan)? 08xxxxxxxxxx
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
”Hukum memakai kaos tangan, seperti kata Ibnu 'Utsaimin rahimahullah dalam Majmu’ah As ‘ilah Tuhimnu al-Usrah al-Muslimah (hal: 44) :
”Memakai sesuatu yang menutup kedua tangan dihadapan ajnabi (lelaki selain mahram), yang dikenal dengan kaos tangan, adalah hal yang baik.  Sepantasnya seorang wanita mengenakannya agar tidak nampak kedua tangannya.”
Bisa jadi sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ.
“jangan pula seorang muhrimah (wanita berihram) memakai cadar [1] dan kaos tangan.”
(Hadits ini dikeluarkan al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari (Kitab “Jaza’ ash Shaid pada “Bab Ma Yunha’ min ath-Thib li al-Muhrim wal Muhrimah”))
Menunjukkan adanya kebiasaan kaum muslimah mengenakan kaos tangan dimasa itu [2]. 
Lagi pula, mengenakan kaos tangan lebih menutup kedua tangannya dan lebih menjauhkannya dari godaan. Akan tetapi, tidak boleh menggunakan kaos tangan yang indah/cantik yang dapat menarik perhatian kaum lelaki.
Wallahu a’lam.
Catatan kaki :
1. Cadar: Kain yang dijahit khusus sebagai penutup wajah wanita
2. Begitu juga cadar, Karena hal itu adalah kebiasaan mereka, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka mengenakannya saat ihram karena hal itu terlarang disaat ihram.
Majalah asysyariah Vol.VII/No.79/1433H/2012

Monday, June 17, 2019

Harta dari Penghasilan Haram


[TANYA JAWAB] - HARTA DARI PENGHASILAN HARAM
Soal :

Apa hukum memanfaatkan harta yang didapatkan dari penghasilan yang haram sedangkan pelakunya/pemiliknya telah bertobat?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Orang yang pemasukannya bersumber dari penghasilan yang haram berupa riba dan lainnya lantas bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla, ada beberapa rincian tentang hukum memanfaatkan harta penghasilannya tersebut.

1. Jika selama ini dia jahil (tidak tahu) bahwa pemasukan/penghasilan itu haram karena kebodohannya, hasil ijtihad keliru atau taklid mengikuti fatwa keliru yang membolehkan, kemudian ia mengetahuinya dan bertobat, dia boleh memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya, seperti untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menghadiahkannya, mewakafkannya, dan lainnya.
Dalilnya ialah firman Allah ‘azza wa jalla “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka dari itu, barang siapa telah datang kepadanya wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah.” (al-Baqarah: 275)
Hal ini telah difatwakan oleh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu al-Fatawa (19/274), “Adapun jika engkau jahil (tidak tahu hukum) kemudian mengetahuinya, halal bagimu apa yang telah lalu.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,  “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka dari itu,barang siapa telah datang kepadanya wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah. Barang siapa mengulanginya setelah itu, mereka adalah penghuni neraka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 275)
Jika demikian, apabila Anda punya pemasukan dari hasil riba dalam keadaan tidak tahu hukum, kemudian Allah ‘azza wa jalla memberimu petunjuk, halal bagimu apa yang telah lalu.”
Al-Lajnah ad-Da’imah (Ketua: Ibnu Baz, Wakil Ketua: ‘Abdul ‘Aziz Alu asy-Syaikh, Anggota: Shalih al-Fauzan dan lainnya) dalam Fatawa al-Lajnah (14/485) berfatwa kepada seorang wanita muslimah dari Somalia yang pernah menjadi pembantu rumah tangga keluarga Nasrani di Swedia. Di antara tugasnya adalah menghidangkan khamr (minuman keras) untuk mereka.
Kata al-Lajnah, “Adapun jika Anda tidak mengetahui haramnya hal itu kemudian Anda bertobat dan meninggalkan pekerjaan itu tatkala mengetahui hukumnya, tidak ada kewajiban apapun atasmu mengenai harta penghasilanmu yang telah lalu. Hal itu berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla tentang para pelaku riba,
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka dari itu, barang siapa telah datang kepadanya wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah. Barang siapa mengulanginya setelah itu, mereka adalah penghuni neraka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 275)
Kata Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Tafsir al-Qur’an (Program Maktabah Syamilah) ketika memetik faedah dari penafsiran ayat tersebut, “Faedah kedelapan, harta yang didapatkan oleh seseorang dari hasil riba sebelum mengetahui hukumnya adalah halal untuknya, dengan syarat ia bertobat dan berhenti.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa (29/412) berfatwa tentang harta yang dihasilkan dengan akad jual beli yang hakikat hukumnya haram, tetapi dilakukan oleh orang yang menyangkanya halal.
Kata beliau, “Demikian pula setiap akad yang diyakini oleh muslim pelakunya sebagai akad yang sah dengan penakwilan yang bersumber dari hasil ijtihad atau taklid (membebek), seperti muamalah ribawi yang diperbolehkan oleh para penghalal rekayasa riba secara halus—Ibnu Taimiyah menyebutkan contoh-contoh lainnya, seperti jual beli yang mengandung gharar (spekulasi terlarang).
Jika pada akad-akad tersebut telanjur terjadi taqabudh antara kedua belah pihak yang bertransaksi (sama-sama telah menggenggam/mengambil harta yang ditransaksikan) disertai keyakinan sahnya muamalah itu, tidak dituntut untuk dibatalkan setelahnya, baik dengan hukum maupun dengan rujuk dari ijtihad itu. Artinya, harta itu menjadi miliknya yang sah dan halal untuknya. Wallahu a’lam.

2. Jika dia menghasilkan harta yang haram itu dalam keadaan tahu hukum kemudian bertobat, ia tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan pribadi, baik untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menghadiahkannya, menghibahkannya, maupun yang semacamnya.
Tuntutan sempurnanya tobat Mengharuskannya membersihkan/mengeluarkan harta haram itu dari dirinya dengan cara:

* Diberikan kepada fakir miskin atau orang yang terlilit/tidak mampu membayar utang. Hal ini bukan sebagai sedekah, melainkan pembersihan diri dari harta haram.

Disalurkan untuk program kepentingan/maslahat umum (masyari’ khairiyyah ‘ammah), seperti madrasah, pembangunan/perbaikan jalan, selokan, kamar mandi, kakus/WC, pagar kuburan, dan semisalnya. Hal ini bukanlah amal ibadah, melainkan pembersihan diri dari harta haram.
Ini rangkuman fatwa ulama terkemuka pada abad ini, yaitu al-Imam Ibnu Baz, al-Lajnah ad-Da’imah (yang diketuai al-Imam Ibnu Baz dan salah satu anggotanya al-‘Allamah Shalih al-Fauzan), dan Ibnu ‘Utsaimin. Secara lengkap dapat dilihat dalam kitab Fatawa al-Lajnah (13/431, 14/57, 60—63, 413—414), Majmu’ al-Fatawa libni Baz (19/267, 268, 273—274), Liqa’ Bab al-Maftuh libni ‘Utsaimin (6/18, 24/32, 221/17), dan Majmu’ Fatawa war Rasa’il (12/384—385).

Untuk Pembangunan Masjid?
Adapun untuk pembangunan masjid, terdapat perbedaan pendapat di antara mereka.
  1. Ada yang berpendapat tidak boleh. Al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz) berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah (13/431), “Diinfakkan untuk maslahat umum, yaitu di jalan-jalan kebaikan, selain masjid. Masjid tidak boleh dibangun darinya, demi menjaga kesucian masjid dari harta penghasilan yang haram.”
  2. Ada yang berpendapat boleh. Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam kitab Liqa’ Bab al-Maftuh (6/18), “Harta apa saja yang dihasilkan oleh seseorang dengan cara yang haram kemudian bertobat darinya, ia berlepas diri dari harta itu dengan menyalurkannya untuk jalan kebaikan, termasuk pembangunan masjid dan sedekah kepada fakir miskin.”
Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam kitab Majmu’ Fatawa war Rasa’il (12/384— 385) mengenai hukum shalat di masjid yang dibangun dari harta haram, “Boleh shalat di dalamnya dan tidak mengapa, karena yang membangunnya dari harta yang haram, boleh jadi ia melakukannya demi membersihkan dirinya dari harta penghasilannya yang haram.
Membangun masjid dari harta penghasilan yang haram hukumnya halal, apabila dimaksudkan untuk membersihkan diri dari harta penghasilan yang haram, tetapi hal itu tidak terbatas dengan membangun masjid saja. Berlepas diri dari harta yang haram juga dapat dilakukan dengan menyalurkannya pada program kebaikan lainnya.” Wallahu a’lam.
Jika Tercampur dengan yang Halal
Tersisa sebuah masalah, apabila harta itu telah tercampur dengan harta penghasilan lainnya yang halal, sedangkan pelakunya tidak mampu menentukan mana yang haram dan tidak mampu berijtihad (menganalisa) untuk memisahnya dengan dugaan kuat sekalipun.
Dalam hal ini al-Lajnah ad-Da’imah (Ketua: Ibnu Baz, Wakil Ketua: ‘Abdul ‘Aziz Alu asy-Syaikh, Anggota: Shalih al-Fauzan dan lainnya) dalam Fatawa al-Lajnah (14/484—485) berfatwa kepada seorang wanita muslimah dari Somalia yang pernah menjadi pembantu rumah tangga keluarga Nasrani di Swedia. Di antara tugasnya adalah menghidangkan khamr (minuman keras) untuk mereka. Al-Lajnah menyatakan bahwa wajib atasnya membersihkan diri dari penghasilan yang haram itu.
Kemudian mereka berkata, “Apabila harta haram tersebut telah bercampur dengan harta yang halal; jika bisa diketahui kadar/nilai harta yang haram dari yang halal, keluarkan yang haram dan sedekahkan untuk membersihkan diri darinya serta membebaskan diri dari tanggung jawab.
Jika tidak dapat diketahui kadar yang haram dari yang halal, seluruh harta yang ada dibagi dua; setengahnya disedekahkan (untuk membersihkan diri darinya) dan setengahnya lagi Anda boleh manfaatkan dalam perkara yang halal. Hal ini jika Anda sudah tahu hukum ketika bekerja bahwa pekerjaan itu haram.”
Wallahu a’lam.
Sumber artikel : Majalah asy-syariah online